Ruangan itu bersih dan sejuk. Gorden tebal bergaya Victoria tersibak, sehingga tampaklah pemandangan yang jelas melalui jendela kaca besar. Dia duduk di kursi brokat empuk dengan model kaki Ratu Anne. Di sampingnya ada lampu, cangkir kembang-kembang, dan cawan yang berisi teh favoritnya. Di depannya ada meja kopi kecil, dengan piring kaca berisi permen.
Virginia Merriweather sedang menunggu lingkungan sekitar huniannya menjadi hidup. Dia suka menyaksikan anak-anak bermain di taman seberang jalan, melalui jendela itu. Dia khawatir para tetangga mungkin menahan anak-anak mereka bermain di luar karena serangkaian kematian yang terjadi baru-baru ini di beberapa blok. Meskipun polisi telah menyimpulkan bahwa sebagian besar kematian itu disebabkan kecelakaan dan satu kematian lagi merupakan kasus bunuh diri, Virginia berpikir para orang tua mungkin mengambil tindakan pencegahan ekstra demi keselamatan anak-anak mereka. Kenyataannya, dia tidak melihat ada perubahan. Anak-anak masih diizinkan untuk pergi dan kembali sesuka hati. Virginia senang bahwa ternyata tidak ada yang berubah, karena dia suka memerhatikan anak-anak.
Virginia melirik ke arah jam dinding. Dia tahu bahwa para keluarga akan segera menyelesaikan sarapan mereka, lalu kegiatan akan dimulai. Ada udara yang bergerak tenang di sekelilingnya pagi ini. Perlahan, dia menggeser tubuhnya ke depan kursi dan mengulurkan tangan tuanya untuk mengambil permen. Kepalanya pelan-pelan tertunduk saat dia membuka bungkus permen. Suara detak jam bandul terdengar sangat jelas memenuhi ruangan luas yang bergaya Victoria itu, membuat Virginia terpikir untuk meyingkirkannya. Dia tidak membutuhkan sesuatu yang mengingatkannya pada berapa lama waktu telah berlalu. Dia bisa merasakan setiap menit di usianya yang telah mencapai delapan puluh lima tahun. Kulitnya yang dulu tebal dan berwarna cerah, sekarang tipis, tidak berwarna, dan berkerut. Bibirnya yang dulu penuh dan montok, sekarang hanya berupa garis-garis lipstik merah muda dan berbulu di semua sisi. Rambutnya yang dulu panjang, hitam, dan mengkilat, sekarang abu-abu dan disematkan dalam sanggul berwarna senada. Matanya yang dulu jernih dan tajam, sekarang kusam di balik kacamata tebal berbingkai kawat. Dia melihat setiap perawan tua mengenakan gaun belacu dan sepatu coklat yang serasi. Jam bandul mulai berdentang sepuluh kali dan dia melihat orang-orang keluar dari rumah mereka.
Seperti semut, pikirnya.
Begitu jam selesai berdentang, ada ketukan di pintu, di belakangnya. Dia tidak bisa membayangkan siapa orang tidak penting yang berkunjung ke mari, selain kakak perempuannya. Hanya kakak perempuannya yang pernah mengetuk pintu belakang. Sekarang setelah kakak perempuannya meninggal dunia, rasanya aneh mendengar suara ketukan itu.
Dia merespons dengan lambat. Dengan menggunakan tongkat, ia berjalan melintasi lantai mahoni yang halus, lalu berikutnya lantai linoleum, sebelum akhirnya mencapai dapur. Dia membuka kunci pintu dan membukanya. Anak tetangga berdiri tepat di depan pintu. Virginia memperkirakan, usianya tidak lebih dari sepuluh tahun.
“Halo,” katanya. Tidak ada senyum menghiasi wajahnya saat dia mengatakannya.
“Halo, Sayang,” jawab Virginia, sambil tersenyum kecil.
“Bolehkah saya masuk?” Dia menjawab dirinya sendiri dengan cara melewati Virginia, memasuki dapur, kemudian menuju ruang duduk.
“Kenapa kamu tidak datang lewat pintu depan, Sayang?” Virginia bertanya. Dia menutup pintu dan menguncinya.
“Karena aku ingin datang lewat pintu belakang,” katanya. Dia sekarang berdiri di tengah ruang duduk. Dia mengamati ruangan besar dan tangga yang berkelok.
“Rumahmu besar,” katanya. “Terlalu besar untuk dihuni satu orang.”
Anak itu melihat hidangan permen di atas meja dan kemudian memerhatikan Virginia dengan seksama ketika dia melangkah menuju kursi dengan tongkatnya.
“Kamu benar,” kata Virginia. “Kakak perempuanku dulu tinggal bersamaku.”
“Dia sudah meninggal,” kata anak itu, polos.
“Ya, benar,” sahut Virginia. “Aku sangat merindukannya.”
“Bagaimana kakak perempuanmu meninggal?” anak itu bertanya.
“Dia jatuh, Sayang.” Virginia menyesap tehnya dengan lambat. “Dan ketika orang seusia kami jatuh, akibatnya bisa sangat berbahaya.”
“Hari ini Anda berjalan sangat lambat.” Anak itu mengamati.
“Kurasa begitu, Sayang,” kata Virginia sambil tertawa kecil. “Tulang-tulangku ini sudah tua dan tak kenal ampun.”
Komentar seperti ini biasanya mengundang tawa atau setidaknya senyuman, namun tidak demikian halnya dengan anak ini. Dia menganggapnya aneh. Virginia meraih kursi, lalu duduk.
“Siapa namamu?” dia bertanya dengan suara yang paling manis.
“Namaku George, tetapi Anda sudah tahu itu,” katanya. “Anda tahu nama semua anak.”
“Nama Anda adalah Virginia,” dia berkata lagi. “Virginia Merriweather.”
“Ya, itu benar, Sayang,” Virginia tersenyum dan mengaduk tehnya. Dia mendekatkan cangkir porselen ke bibirnya dan menyesap sedikit. “Kamu bisa memanggilku Nona Merriweather.”
George terus melihat ke seluruh ruangan. Seolah-olah dia sedang mempelajarinya.
“Apakah ibumu menyuruhmu ke mari, Sayang?” dia bertanya.
“Tidak,” jawab George. “Ibu bilang, aku seharusnya tidak mengganggu Anda.”
“Oh, kamu sama sekali tidak menggangguku,” kata Virginia. “Saya suka menerima tamu. Rasanya sepi jika hanya sendirian di sini.”
Virginia tersenyum pada anak itu, tetapi ekspresi anak itu tetap tidak berubah.
“Anda tahu, semua orang di sekitar sini mengira Anda hanya seorang wanita tua yang baik, Virginia, tapi aku tidak,” katanya blak-blakan. Dia memandangi piring berisi permen-permen itu lagi.
“Apakah kamu mau permen, Sayang?” tanya Virginia.
Dia tidak tahu harus bagaimana menghadapi anak itu dan responsnya yang kasar.
“Aku tidak suka permen seperti itu,” katanya, melompat-lompat ke jendela. Dia melihat anak-anak yang tengah bermain, sehingga menghalangi pandangan Virginia.
“Anda sama sekali tidak baik, Virginia. Aku tahu Anda bukan orang baik, karena Anda sepertiku.” Dia berbalik untuk melihat ke arah Virginia saat dia mengatakannya. Tatapannya berubah tajam.
Virginia balas menatap sambil menimbang-nimbang. Dalam pandangan orang yang tidak terlatih, anak ini akan tampak normal dan tidak perlu dikhawatirkan. Tetapi Virginia tahu bedanya. Dia bisa melihat siapa anak ini.
“Bagaimana dengan permen spesial ini, Georgie?” Virginia menawarkan. Dia mengeluarkan permen bening dari kantong kertas yang dimasukkan ke keranjang rajut di lantai. Permen itu berwarna kuning dan tidak dibungkus.
“Cantik, bukan?” Virginia mengarahkannya ke cahaya, sehingga permen itu tampak menyala. Dia mengulurkan tangannya pada George dan terkejut ketika anak itu berjalan cepat untuk mengambilnya. George mengepalkan tangan erat-erat.
“Jangan panggil aku Georgie,” katanya. Dia mengerutkan kening saat menatap Virginia. “Aku tidak suka itu.”
“Tahu tidak,” kata Virginia. “Ini mengingatkanku pada sajak yang biasa kami bacakan di sekolah.”
Suara Virginia lebih terkendali sekarang. Lebih halus, lebih serak, dan lebih rendah, hampir menyerupai geraman. Dengan suara nyanyian nyaring, dia mengejeknya, “Georgie Porgie, puding dan pai!”
“Jangan panggil aku seperti itu!” kata anak itu sambil menghentakkan kaki.
“Mencium gadis-gadis itu dan membuat mereka menangis!” Virginia bertepuk tangan sambil bersajak, dan mengakhirinya dengan tawa melengking.
“Kubilang, hentikan!” Wajah George mengerut karena marah.
Virginia melanjutkan tawanya, tetapi sontak terdiam, lalu duduk tegak. Dia meletakkan satu tangan di dadanya sambil memasang ekspresi terkejut yang mengejek. “Apa yang salah, Georgie? Apa kamu tidak suka lelucon saya? “
Dia memelototi Virginia sambil berdiri mematung. Salah satu tangannya mengepal di samping. Kemudian setelah beberapa saat, sikapnya santai. Dia berdiri tegak, dan merapikan kemeja dengan tangannya. “Anda tahu, aku tidak yakin soal Anda, Virginia. Padahal aku sudah curiga saat pertama kita bertemu,” katanya. “Cara Anda menatapku, aneh. Seakan-akan Anda sedang menguji dan menilaiku. Aku bertanya-tanya apakah aku dan Anda punya kesamaan. Jadi, kuputuskan untuk memata-matai Anda setiap kali ada kesempatan.”
George berbalik dan kembali ke jendela. “Anda memberiku kesempatan sempurna tadi malam.”
Dia meletakkan tangan di balik punggung dan menunggu.
Virginia, yang telah mengambil cangkir teh untuk bersiap menyesap, meletakkannya kembali dengan cepat.
“Benarkah?”
Kalimat itu lebih seperti sebuah pernyataan daripada pertanyaan.
“Aku mengawasi Anda selama hampir dua jam melalui jendela yang terbuka di dapur. Apakah Anda ingat apa yang Anda lakukan tadi malam? Itu sangat menarik, Virginia.”
George merentangkan tangan melintasi gorden tanpa menyentuhnya, dan berbalik. Dia menyeringai untuk pertama kalinya.
Virginia tidak berkata apa-apa, dan hanya terus menatapnya.
“Jujur, aku tidak bermaksud memata-matai Anda. Tidak. Aku sedang berada di samping rumah, bersenang-senang memukul seekor katak dengan tongkat panjang. Ketika itulah aku mendengar suara musik datang dari arah jendela yang terbuka di dapur Anda. Saat itu gelap. Aku tahu orangtuaku tidak akan merindukanku, jadi aku menghampiri jendela dan mengintip. Anda benar-benar terlihat kacau, Virginia. Anda memakai baju tidur putih yang sudah usang.” George terkikik.
“Anda minum dari botol cokelat besar dan menghabiskan sekitar lima atau enam minuman dari botol itu dalam waktu sekitar lima menit. Persis seperti yang dilakukan para pemabuk di jalanan. Aku tidak berharap Anda seperti itu, Virginia. Sungguh. Anda benar-benar memukau, Virginia! Benar-benar memukau!” George tertawa lagi.
Virginia bergeming.
George melanjutkan dengan antusias. “Lalu Anda memulainya, Virginia!”
George mulai terkikik dan meniru gerakan Virginia saat mabuk. Suaranya nyaring dan kasar. “Menari, menari, menari, Virginia, menari dalam lingkaran seperti penyihir! Tanpa alas kaki, sambil memakai gaun jelek itu!”
George menari sedikit tanpa mengatakan apa-apa. Lalu, dia berhenti. “Aku merasa jijik, sungguh. Tetapi aku tidak bisa berhenti menyaksikannya!”
Virginia menggeser bobot tubuhnya ke depan kursi, lalu duduk tegak.
George mulai terkikik lagi. “Oh! Nyanyiannya. Nyanyian itu benar-benar hebat. La la la …. Anda bernyanyi. La la laaaaa ….”
George menghentikan aktingnya.
“Itu semua sangat gila, sampai-sampai aku tidak bisa berhenti melihatnya!” George bersandar sambil tertawa terbahak-bahak. Dia memegangi perutnya dengan satu kaki terangkat karena kegirangan.
Virginia menatap tajam pada George. Tangannya mencengkeram pegangan kursi dan rahangnya mengatup rapat.
“Lalu tarian itu membuat Anda kehabisan napas, sehingga Anda bersandar di meja dan minum dari botol lagi. Beberapa tetes jatuh ke dagu dan gaun tidur Anda, tetapi Anda tidak peduli. Anda hanya menyeka wajah Anda dengan lengan baju kotor Anda. Kemudian Anda mengecilkan suara musik. Inilah bagian paling seru, Virginia. Anda mulai berbicara pada diri sendiri. Anda berbicara sendiri setidaknya selama satu jam. Awalnya Anda berdiri di sana berbicara tentang kebencian Anda terhadap lingkungan ini dan para tetangga. Setelah beberapa saat, Anda melakukan gerakan seperti meluncur, menuju lemari dapur. Lalu duduk di lantai sambil memegang botol.”
“Apa Anda ingat apa yang Anda lakukan selanjutnya, Virginia?” George berhenti sebentar.
Virginia diam saja.
“Anda mulai merencanakan bagaimana beberapa tetangga akan mati, Virginia. Dengan suara keras dan dengan sangat detail Anda merencanakan kematian mereka. Anda mengatakan bagaimana Sonya Pierce bisa terbunuh oleh senapan berburu suaminya yang bodoh, Joe. Anda berbicara tentang berapa umur Rueben Jennings ketika kabel rem mobilnya terputus. Anda berbicara tentang bagaimana Gertrude Steinblatt dapat terbunuh oleh keracunan karbon monoksida. Kuduga Anda pasti sangat membenci Gertrude, karena itu membuat Anda tertawa terbahak-bahak sehingga saya sempat terpikir Anda mungkin akan membasahi diri Anda sendiri dengan minuman memabukkan itu.”
George menoleh untuk melihat apakah ada reaksi dari Virginia.
Tidak ada.
Dia melanjutkan, “Lalu Anda berbicara tentang seseorang bernama Alberta. Anda berbicara tentang bagaimana Anda menyingkirkannya. Bagaimana Anda menendang bagian bawah tongkatnya dan mendorongnya di tangga. Bagaimana Anda tidak percaya dia sudah mati, tapi lantas merasa senang akan hal itu. Anda berbicara seolah-olah dia berada di hadapan Anda.”
George menopang dagunya dengan sikap dramatis, lalu sebaik mungkin menirukan suara wanita tua yang mabuk ketika berkata, “Oh, Albie. Mengapa kamu membuatku melakukannya, Albie? Mengapa ibu memercayaimu? Sudah kubilang, jangan coba-coba menjual rumah ini. Tapi kamu tidak mendengarkan, Albie. Kamu tidak mendengarkan.”
George menertawakan aktingnya sendiri.
Virginia bersikap santai dan duduk bersandar di kursinya.
“Lalu Anda menenggak minuman dalam botol itu lagi dan berbaring di lantai. Anda sedikit berguling-guling dengan botol di tangan.”
George menirukan suara mabuk Virginia lagi. “Kamu pantas menerimanya, Albie. Mereka semua pantas menerimanya. Semuanya. Orang-orang sialan itu. Semuanya. Semuanya.”
George kembali ke suaranya yang biasa. “Anda menggumam cukup lama, tapi aku tidak bisa memahami apa yang Anda katakan. Kemudian Anda berhenti bergerak dan tidur di sana, di lantai dapur, dengan semua lampu menyala. Aku menunggu beberapa menit, tetapi Anda tidak bergerak. Jadi, aku pulang dan pergi tidur. Pertunjukan yang bagus, Virginia! Pertunjukan yang luar biasa!”
George menarik napas panjang dan dalam setelah berlakon dramatis. Kemudian ia berkata, “Malam yang menyenangkan. Aku bertanya-tanya, apa yang harus kulakukan selanjutnya. Kupikir mungkin aku akan memberitahu anak-anak lain atau mungkin memberitahu ibu. Tahu, kan, ibuku itu tukang gosip. Atau mungkin lebih baik lagi jika aku memberitahu ayah. Dia seorang polisi. Atau mungkin aku akan membawa semua orang di lingkungan ini untuk melihatnya sendiri!”
George bertepuk tangan, kemudian mengiringinya dengan tawa untuk menambah penekanan.
Virginia menunggu sampai George selesai tertawa. Dia menatapnya tanpa senyum.
“Bocah Georgie, apakah kamu sudah makan permen yang kuberikan padamu?” dia bertanya.
“Aku memasukkannya ke sakuku,” kata George dengan ceria.
“Saya beritahu, ya. Karena kamu tidak makan permen spesial yang saya berikan padamu, maka saya akan memberimu sepotong pai yang enak. Apakah kamu suka pai? Nyonya Shultz yang membuatnya. Dia wanita yang tinggal di seberang jalan. Ini pai blueberry. Kamu suka blueberry?”
George ceroboh. Ia tahu betapa perilakunya telah membuat wanita itu sangat tidak nyaman, namun ini membuatnya senang.
“Aku suka pai,” katanya. “Satu-satunya pai yang kusuka adalah pai blueberry. ”
“Yah, kalau begitu, ini hari keberuntunganmu. Biar saya ambilkan sepotong untukmu.”
Virginia bangkit dari kursi dengan mudah dan berjalan cepat ke dapur. Tidak perlu berpura-pura. Dia menarik pai dari meja dapur dan mengangkat kertas penutupnya. Dia mengambil pisau dan mengiris pai yang lembut itu.
Virginia meletakkan pai di atas piring dan dengan hati-hati melepaskan lapisan atasnya yang renyah. Dia terus berbicara, “Tahukah kamu, Georgie, saya senang sekali kita bisa berteman. Sudah lama sekali saya tidak punya teman.”
Dia mengulurkan tangan ke dalam lemari dan mengambil sebuah botol kaca kecil dari belakang jejeran kotak. Ia membukanya, lalu menaburkan bubuk ke atas pai. Dia mengaduknya dengan garpu dan meletakkan kembali lapisan atas pai.
“Saya belum punya teman sejati sejak kakak saya meninggal.”
Dia menyeka tangannya dengan lap piring dan melemparkannya ke wastafel. Kemudian dia mengantar pai itu kepada George dan meletakkannya di meja kopi dengan serbet dan garpu.
“Anda tidak ingin aku memakannya di dapur?” George bertanya. “Bagaimana jika makanku berantakan?”
“Kita tidak perlu bersikap resmi, bocah Georgie. Lagipula kita teman, kan? Selain itu, saya sudah lama tidak menggunakan karpet, karena terlalu sulit untuk membuatnya tetap bersih.”
George mengambil garpu dan memotong painya.
Virginia mengambil termos dari keranjang rajutnya dan menuangkan cairan berwarna kuning ke tehnya. Cangkir itu hampir meluap. Virginia meminumnya dengan cepat.
George memegang garpu dengan potongan pai yang di ujungnya. Blueberry encer menetes ke piring di bawahnya. “Kelihatannya sangat menggoda!” dia berkata.
“Makanlah, bocah Georgie,” Virginia berkata dengan antusias.
George menyeringai. Dia mengangkat pai ke mulutnya, lalu menatap Virginia. Ia menjatuhkannya ke piring, sehingga menimbulkan suara dentingan keras. Blueberry itu memercik ke meja.
“Sudah kubilang, aku akan membuatnya berantakan,” katanya.
“Tidak apa-apa ….” kata Virginia. Ia mulai batuk.
“Makan saja … paimu.” Virginia batuk lagi.
“Ada apa, Virginia?” tanya George. Dia berdiri dengan tangan mengepal di balik punggung dan berjalan ke kursi Virginia.
Virginia batuk tersengal-sengal. Dia mencoba meraih George, tetapi George menari mundur seperti petarung sehingga dia tidak bisa menyentuhnya. Bahkan, dia sudah berhati-hati untuk tidak menyentuh apa pun di rumah ini kecuali garpu itu.
George bahkan belum menyentuh kenop pintu. Dia menatap Virginia lagi, kali ini dari dekat.
Virginia menatap George dengan tatapan memohon, tetapi George menjauh.
George mengambil garpu penuh pai di atas piring. Kepala Virginia terkulai di sandaran kursi, menghadap ke langit-langit. Mulutnya menganga karena berusaha mati-matian untuk bernapas.
George memasukkan sepotong besar pai ke dalam mulut Virginia dengan hati-hati agar tidak menyentuhnya. Dia mendorong pai itu ke dalam tenggorokannya.
Virginia mencoba berbicara, tetapi sia-sia.
George membungkuk dan berbisik ke telinganya. “Permen spesial yang Anda berikan padaku … aku taruh di tehmu.”
George memerhatikan mata Virginia yang membelalak ketakutan.
George melangkah mendekati jendela dan melihat anak-anak bermain di luar.
“Perkiraanku, dalam beberapa hari seseorang akan menyadari bahwa Anda belum menutup tirai, atau Anda belum mengambil surat, dan kemudian mereka akan melihat Anda di sini. Setelah mereka mencaritahu bagaimana Anda mati, mereka mungkin menduga bahwa Anda meracuni diri sendiri, semata-mata karena merasa kesepian.”
George mulai meluncur dengan riang melewati ruangan dengan kedua tangan terentang, seolah-olah dia pesawat terbang.
“Zoom zoooooooom!”
Kemudian George diam dan berbalik untuk menyaksikan kematian Virginia.
Virginia mencengkeram kursi, batuknya semakin keras dan panjang, sampai tinggal berupa suara bisikan terengah-engah.
Tidak ada suara lain yang terdengar selain suara detak-detak jam bandul. Tepat sebelum napas terakhirnya, George berbisik di telinga Virginia, kali ini mengulangi sajak itu:
Georgie Porgie
Puding dan pai
Mencium gadis-gadis itu
Dan membuat mereka menangis
George menarik diri dan menatap wajah Virginia yang tak bernyawa. “Aku sudah bilang jangan panggil aku seperti itu, tetapi Anda tidak mendengarkanku, Virginia. Kita bisa menjadi teman. Teman baik.”
Dia mengusap gagang garpu dengan serbet kertas yang telah dia simpan di sakunya, lalu keluar dari pintu belakang dan membersihkan kenop pintu di setiap sisi saat dia pergi.
Bocah Georgie tidak melewati jalan yang menuju ke rumahnya.(*)
***
Pen: Connie Rae White
Sumber:
https://www.bacapetra.co/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar