Raja berasal dari bahasa arab yang artinya harapan. Yang dimaksud raja’ pada pembahasan ini ialah mengharapkan keridaan Allah Swt dan rahmat-Nya. Rahmat adalah segala karunia Allah Swt yang mendatangkan manfaat dan nikmat.
Raja’ termasuk akhlakul karimah terhadap Allah Swt, yang manfaatnya dapat mempertebal iman dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Umat Islam yang mengharapkan ampunan Allah, berarti ia mengakui bahwa Allah itu Maha Pengampun. Umat Islam yang mengharapkan agar Allah melimpahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, berarti ia menyakini bahwa Allah itu Maha pengasih dan Maha Penyayang.
Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap umat Islam senantiasa berharap memperoleh rida dan rahmat Allah, sebagai bukti penghambaan kepada-Nya. Allah Swt telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar banyak berdoa kepada Allah Swt, dengan berharap Allah Swt akan mengabulkan doanya. Allah Swt berfirman :
"Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu..." (QS.Al-Mu’min, 40:60)
Umat Islam yang bersifat raja’ tentu dalam hidupnya akan mendapatkan hikmah dan keutamaan sebagai berikut :
1. Optimis
Dalam kamus besar bahasa indonesia dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan optimis adalah orang yang selalu berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal atau persoalan.
Optimis termasuk sifat terpuji. Sifat optimis seharusnya dimiliki oleh setiap umat Islam. Seorang muslim (muslimah) yang optimis tentu akan berprasangka baik terhadap Allah. Ia akan selalu berusaha agar kualitas hidupnya meningkat.
Kebalikan dari sifat optimis ialah sifat pesimistis. Sifat pesimistis ini seharusnya dijauhi, karena termasuk dalam sifat tercela. Seseorang yang pesimis dapat di artikan berprasangka buruk kepada Allah. Ia dalam hidupnya kemungkinan besar tidak akan memperoleh kemajuan. Seseorang yang pesimis biasanya selalu khawatir akan memperoleh kegagalan, kekalahan, kerugian atau bencana, sehingga ia tidak mau berusaha untuk mencobanya.
Umat Islam yang bersifat optimistis hendaknya bertawakkal kepada Allah SWT yaitu berusaha sekuat tenaga untuk meraih apa yang dicita-citakannya, sedangkan hasilnya diserahkan kapada Allah SWT. Orang yang tawakkal tentu akan memperoleh pertolongan dari Allah Swt. Allah Swt berfirman :
“Dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS.Ath-Thalaq, 65: 3)
2. Dinamis
Kata dinamis berasal dari bahasa belanda dynamisch yang berarti giat bekerja, tidak mau tinggal diam, selalu bergerak, terus tumbuh. Seseorang yang berjiwa dinamis, tentu selama hidupnya, tidak akan diam berpangku tangan. Dia akan terus berusaha secara sungguh-sungguh, untuk meningkatkan kualitas dirinya ke arah yang lebih baik dan lebih maju.
Sikap pelaku dinamis seperti itu sebenarnya sesuai dengan fitrah (pembawaan) manusia, yang memiliki kecenderungan untuk meningkat ke arah yang lebih baik. Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan),” (QS.Al-Insyiqaq, 84:19)
Seorang muslim (muslimah) yang sudah meraih prestasi baik dalam bidang positif, hendaknya berusaha terus meningkatkan prestasinya ke arah yang lebih baik lagi. Hal itu sesuai dengan suruhan Allah Swt dalam Al-Qur’an dan anjuran Rasulullah Saw dalam haditsnya. Allah Swt berfirman.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS.Al-Insyirah, 94: 7-8)
Juga Rasulullah Saw bersabda yang artinya: ”Barang siapa yang amal usahanya lebih baik dari kemarin maka orang itu termasuk orang yang beruntung, dan jika amal usahanya sama dengan kemarin, termasuk yang merugi, dan jika amal usahanya lebih buruk dari yang kemarin, maka orang itu termasuk yang tercela”. (H.R. Tabrani)
Kebalikan dari sifat dinamis adalah sifat statis. Sifat statis seharusnya dijauhi karena termasuk akhlak tercela yang dapat menghambat kemajuan dan mendatangkan kerugian.
3. Berpikir Kritis
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan, bahwa berpikir krtitis itu artinya tajam dalam penganalisaan. Bersifat tidak lekas percaya, dan sifat terlalu berusaha menemukan kesalahan, kekeliruan atau kekurangan. Orang yang ahli memberi kritik atau memberikan pertimbangan apakah sesuatu itu benar atau salah, tepat atau keliru, sudah lengkap atau masih kurang disebut seorang kritikus.
Kritik itu ada dua macam yaitu, yang termasuk akhlak terpuji dan yang tercela. Kritik yang termasuk akhlak terpuji adalah kritik yang sehat, yang didasari dengan niat ikhlas karena Allah Swt, tidak menggunakan kata-kata pedas yang menyakitkan hati, dan dengan maksud untuk memberi pertolongan kepada orang yang dikritik agar menyadari kesalahannya, kekeliruannya, dan kekurangan, disertai dengan memberikan petunjuk tentang jalur keluar dari kesalahan, kekeliruan dan kekurangan tersebut. Rasulullah Saw bersabda, yang artinya:
“Yang dinamakan orang Islam adalah orang yang menyelamatkan orang-orang muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya, sedang yang dinamakan orang yang hijrah itu adalah orang yang meninggalkan semua larangan Allah.” (H.R.Bukhari,Abu Dawud dan Nasa’i)
Kritik yang sehat, seperti tersebut sebenarnya termasuk ke dalam tolong-menolong yang diperintahkan Allah Swt untuk dilaksanakan. Allah Swt berfirman yang artinya :
“Dan bertolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebijakan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maa-idah, 5:2)
Kritik yang termasuk akhlak tercela adalah kritik yang merusak, yang tidak didasari niat ikhlas karena Allah Swt, dengan menggunakan kata-kata keji yang menyakitkan hati dan tidak disertai memberi petunjuk tentang jalur keluar dari kesalahan, kekeliruan, dan kekurangan. Sehingga antara mereka saling bermusuhan dan saling dengki, yang sangat dilarang oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kamu berdengki-dengkian, jangan putus-memutuskan persaudaraan, jangan benci-membenci, jangan pula belakang-membelakangi, dan jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara, sebagaimana telah di perintahkan Allah kepadamu.” (H.R.Bukhari dan Muslim)
4. Mengenali Diri Dengan Mengharap Keridaan Allah Swt
Salah satu cara dalam mengharap keridaan Allah Swt ialah berusaha mengenali diri sendiri. Hal ini sesuai dengan pepatah yang terkenal di kalangan tasawuf:
“Barang siapa yang mengenal dirinya tentu akan mengenal Tuhannya.”
Mukmin yang mengenali dirinya dimana pun dan kapan pun, tentu akan selalu mengadakan instropeksi apakah dirinya sudah betul-betul menghambakan dirinya kepada Allah Swt? Kalau sudah, bersyukurlah dan tingkatkan kualitasnya. Kalau belum, kembalilah ke jalan yang diridai Allah Swt dengan jalan betul-betul bertakwa kepada-Nya.
Mukmin yang mengenali dirinya akan menyadari bahwa ia hidup karena Allah dan bertujuan untuk memperoleh keridaan Allah. Mukmin yang ketika di dunianya memperoleh keridaan Allah, tentu di alam kubur dan alam akhirat pun akan memperoleh rida Allah Swt, ia akan terbebas dari siksa kubur dan azab neraka dan akan mendapatkan nikmat kubur serta pahala surga.
Sumber:
http://bacaanmadani.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar